Friday, July 25, 2008

Cita-cita

Saya sedang bersantai menonton TV di tempat tidur ketika Reyhan masuk membawa buku Pe-ernya dan selembar kertas. "Ma, ini ada biodata murid, kata bu guru diisi terus dikumpulkan," Dia menyerahkan lembar kertas itu pada saya. Lalu sibuk mengerjakan pe-er. Saya mengambil pulpen dan mulai mengisi pertanyaan-pertanyaan di kertas itu. Seingat saya, tahun lalu sudah pernah mengisinya. Tapi mungkin hal ini selalu dilakukan setiap tahun untuk pendataan ulang.

Saya jawab pertanyaan-pertanyaan itu berurut dari atas. Nama, alamat, nomor telepon. Hobi anak. Hhhmmm.... kalo nggak salah main dan nonton film nih (gak jauh beda lah sama mamanya. Kekekeke....). Pertanyaan berikut, pelajaran favorit. Saya berhenti menulis dan melihat Reyhan, "Pelajaran favorit kamu apa, Han?" Reyhan berhenti mengerjakan pe-er, berpikir sebentar, dan menjawab mantap, "Matematika." Oke. Saya tulis matematika, sambil bersorak dalam hati. Yippiiee... Gak percuma dari umur 2 tahun dinding kamar ditempeli poster angka dan operasi matematika.

Pertanyaan berikutnya, cita-cita. Saya berhenti dan bertanya lagi. "Cita-cita Reyhan apa?" Kali ini agak lama dia diam sebelum menjawab,"Pilot...." (nadanya tidak setegas tadi). "Pilot? Kalau pesawatnya jatuh gimana?" Timpal saya spontan. Reyhan sedikit tertegun. Lalu dia bilang, "Ya udah, terserah mama deh." Saya lalu beri opsi, "Gimana kalo ahli komputer? Kayak bapak gitu."
"He-eh", jawab Reyhan sambil lalu, sambil menekuni pe-ernya lagi. Saya pun melanjutkan mengisi formulir itu.

Keesokan hari, baru saya merasa sedikit terusik dengan percakapan kami. Bukan, bukan oleh jawaban Reyhan. Tapi oleh perkataan saya sendiri. Saya ingat bagaimana waktu kecil dulu, setiap kali ditanya apa cita-cita saya, saya selalu bilang ingin jadi arsitek. Tapi lalu ibu saya berusaha meyakinkan saya untuk memilih bidang kedokteran dan jadi dokter. Walau pada awalnya setuju, semakin saya besar semakin keras saya menolak keinginan ibu saya untuk jadi dokter. Karena saya yakin sekali saya takkan mampu jadi dokter yang harus menghafal sekian banyak bahan dan hafalan.

Sekarang, setelah saya sendiri jadi seorang ibu, apakah saya juga melakukan tindakan yang sama dengan ibu saya dulu? Memaksakan keinginan pada anak? Saya dan suami sudah seringkali membahas masa depan anak-anak, dan kami cukup yakin bahwa dengan pengalaman hidup yang sudah dijalani, rasanya kami bisa mengarahkan anak-anak untuk bisa sukses di masa depannya. Tapi apa itu tindakan yang benar atau tidak? I mean, kalau Reyhan ingin jadi pilot lalu saya 'belokkan' agar memilih jadi ahli komputer, tindakan saya itu benar atau tidak, ya? Terus terang, sebagai ibunya, rasanya saya tidak sanggup membayangkan dia jadi pilot, yang sebagian besar waktunya habis di udara, sementara tiap kali dia terbang saya merasa dag dig dug mencemaskan keselamatannya. Di pihak lain, saya tak yakin dia punya alasan kuat untuk menetapkan pilihan itu, dengan kata lain, mungkin opsi 'pilot' keluar karena masih minimnya pengetahuan dia tentang lapangan pekerjaan yang tersedia di kehidupan. Sama halnya dengan saya yang memilih jadi arsitektur dulu, karena saya tak tahu bahwa jadi seorang diplomat ternyata lebih cocok dan menyenangkan buat saya.

No comments: