Tuesday, September 09, 2008

Mari mengenal anak kita

Artikel bagus lagi. Sayang kalau kelewat. Semoga bermanfaat. Enjoy!

Sumber: http://www.eramuslim.com/atk/btm/8908064833-mari-mengenal-anak-kita.htm

8 Sep 08 07:10 WIB

Oleh Siti Aisyah Nurmi

Sembilan bulan ibu mengandung, sekian bulan lagi merawat sambil menyusui, ditambah sekian tahun membesarkan anak. Apakah kita sudah mengenal anak kita? Mungkin sudah, mungkin juga belum, atau mungkin baru sebagian? Wallahua’lam.

Sebagai orangtua, ibu dan ayah memiliki tuntutan untuk memahami anak-anaknya. Apalagi dengan semakin kompleksnya kehidupan modern, semakin banyaknya variasi dan pilihan kehidupan, maka semakin besarlah tuntutan untuk hal ini. Mau sekolah di mana? Sekolah kejuruan-kah? Atau sekolah umum? Atau kursus? Atau homeschooling?

Jika kita sebagai orangtua kurang mengenal sifat dan kondisi anak, maka sangat mungkin salah pilih. Sejak hal kecil, seperti salah memilihkan baju sehingga baju bagus yang kita beli ternyata menjadi mubazir karena anak enggan memakainya. Sampai-sampai anak enggan masuk sekolah karena sekolah yang kita pilihkan ternyata tidak cocok baginya.

Kesulitan lain juga akan dihadapi orangtua saat menasehati dan memberi arahan. Manakala kurang mengenal anaknya, orangtua kurang mampu memberi nasehat yang tepat pada anaknya sehingga anak kemudian cenderung mengabaikan.
Bagaimana seharusnya kita menegnal anak kita?

Ada dua bidang bahasan dalam pengenalan anak:

1. Pertama, mengenal anak sesuai konsep yang ada, yaitu menurut agama, dan menurut ilmu tentang anak. Dengan catatan, sebagai muslim, jika konsepsi ilmu tentang anak bertentangan dengan konsepsi yang ada dalam Islam, maka kita perlu mendahulukan konsepsi agama.

2. Bahasan kedua adalah mengenal anak sesuai keunikan diri masing-masing, dengan dasar pemahaman bahwa ”tidak ada dua manusia yang sama persis serupa” (individual difference/ unique being). Dalam bahasan ini lebih kepada bagaimana kita sebagai orangtua mengenal anak melalui pengamatan.

Bahasan Pertama, mengenal anak menurut Islam dan ilmu tentang anak.
Islam mengatakan bahwa setiap anak dilahirkan fitrah, suci, bersih, tanpa dosa. Orangtunya-lah yang telah menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Artinya anak tak mungkin divonis bersalah sejak lahir. Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhary tersebut, telah menyebutkan pihak mana yang telah mengambil andil merubah anak yang fitrah, yaitu orangtua.

Dari konsepsi ini, kita perlu membedakan antara bakat bawaan dan penyimpangan. Bakat bawaan tak mungkin buruk. Buruk di sini maksudnya, bakat bawaan tak mungkin langsung menentukan anak masuk neraka. Allah SWT Maha Adil tak mungkin memberikan seseorang bakat yang langsung menuju neraka.

Tak ada bakat mencuri, berzina atau bakat musyrik. Mencuri terjadi karena contoh atau karena kekurangan, karena iri atau karena ketidak tahuan dan lain sebagainya. Lain halnya dengan bakat "keras". Maksudnya sifat bawaan yang cenderung pantang menyerah, teguh pendirian, yang secara bakat ini bakat yang baik namun boleh jadi akan muncul dalam perilaku ngotot, mau menang sendiri dan susah dinasehati atau diyakinkan orang.

Bakat bawaan ini perlu diasah dan diarahkan sehingga tidak berkembang menjadi negatif misalnya menjadi pemarah dan sombong.
Di sinilah peran ilmu tentang anak, baik itu Psikologi Anak, maupun Pendidikan Anak. Dalam ilmu-ilmu tersebut dibahas tentang berbagai sifat dan karakter yang bahkan dapat diukur dengan berbagai test. Juga tentang nilai kecerdasan.

Mengenai nilai kecerdasan, kita perlu juga mengetahui bahwa Islam menghargai nilai usaha. Pahala seseorang dilihat dari niatnya, bukan hasilnya. Oleh karena itu, jika-pun kecerdasan terbatas namun amalnya banyak (anak rajin), tetap harus dihargai tinggi. Dalam dunia materialisme saat ini, nilai tertinggi diberikan kepada nilai hasil prestasi yang semua diukur dengan materi atau kuantitatif. Ini berbeda dengan konsepsi Islam. Sebagai orangtua, kita harus pandai memotivasi anak berbakat, namun harus juga pandai mengapresiasi anak yang berusaha.

Dalam Ilmu Psikologi dikenal istilah ”under-achiever”, yaitu anak yang mendapatkan prestasi di bawah dari kemampuan yang dimilikinya. Dengan mengenal batas kemampuan anak membuat kita mampu menilai apakah mereka sudah berusaha dengan baik atau masih terkatagori under-achiever.

Selain mencoba mengetahui sifat dan karakter bawaan anak, kita juga perlu memahami apa yang disebut oleh para pakar sebagai ”tahapan-tahapan perkembangan”. Anak lahir sebagai bayi, kemudian semakin lama semakin besar, ini adalah perjalanan kehidupan sesuai prosesnya. Masalah proses adalah masalah fitrah. Setiap orang berkembang dengan proses. Dalam Al-Qur’an juga ada disebutkan tentang proses penciptaan dalam kandungan, dan kemudian di luar kandungan sampai tua dan mati.


Dalam bahasan tentang Lima Poin Pendidikan Anak ada disebutkan tetang tiga tahapan usia anak manusia dalam kacamata pendidikan, yaitu periode bermain, periode disiplin dan periode menjadi mitra atau sahabat. Dari hadits kita ketahui bahwa seorang anak baru disuruh untuk belajar sholat pada usia tujuh tahun. Meskipun anak kecil sudah gemar bermain pura-pura sholat, tetaplah itu bukan pelajaran sholat yang sesungguhnya. Mengapa baru disuruh belajar sholat pada usia tujuh tahun? Ternyata jawabannya dapat kita temukan panjang lebar di buku-buku perkembangan anak.

Dikatakan bahwa nalar anak berkembang dengan cara dan jadwal tertentu sehingga jikapun seorang anak sudah disuruh sholat di usia 4 tahun, tetap anak tersebut baru mengerti di usia tujuh. Maka cukup beralasan bahwa di Taman Kanak-Kanak pengajaran dilakukan dengan full bermain, sementara anak SD kelas satu barulah diharapkan untuk lebih disiplin. Kritikan bagi para orangtua yang mengharuskan anak mengikuti berbagai les tambahan sebelum usia tujuh tahun, sebaiknya tidak merampas masa bermain anak dengan kewajiban les yang mengikat.

Dewasa ini sudah banyak buku populer untuk awam yang ditulis oleh para pakar ilmu tentang anak, namun sebelum mendalami dan menerapkan buku-buku tersebut hendaknya kita sedikit megenal latar belakang penulis dan juga sudah mempersiapkan diri dengan dasar-dasar pemahaman Islam tentang anak.
Bahasan kedua adalah pengamatan kita terhadap anak kita sendiri, Insya Allah akan dibahas pekan sesudah ini. Wallahua’alam. (SAN)

Monday, September 08, 2008

The Heels

Tau lagu yang liriknya kayak gini kan:

The heels are aliiiiiiiiive, with the sound of muuuusiiiiiiic.......

Hhmmmm.... Feel something strange? Yup! Bukan heels, kaleee... tapi hills. But, if you read it over once again, justru kalimat yang diatas itu lebih masuk akal daripada lagu aslinya. Kenapa? Karena biasanya kalau ada suara musik, bukan hills yang bangun, tapi heels yang berjingkrak. Ya kan? Cuma buat lebih kena, irama lagunya kita ganti aja pake irama rap ketukan 4/4 gayanya Iwa K.

The heels are alive, with the sound of music, yeah. Aha aha..... (gak pake centre).

Kenapa tau-tau gue ngomongin heels? Agak aneh, karena for those who know me, pasti tahu bahwa sepatu itu adalah the least of my worry. I often worry about my skin. I sometimes worry about my weight and dress. Tapi jaraaaaangggg deh gue ngeributin sepatu. Bukan apa-apa, menurut gue sepatu itu biasanya jarang keliatan karena letaknya paling bawah. Udah gitu, nasibnya paling sial diantara atribut busana yang lain: diciptakan untuk diinjak-injak. Jadi, buat apa beli yang mahal? Kan ada Hit. Eh, salah iklan.

Sebenernya, story gue sama yang namanya sepatu itu banyaaaaaaaaaaaaaaaaaak banget. Dimulai dari waktu gue kelas 3 SD, kalo gak salah. Dulu kan merk sepatu belom macem-macem kayak sekarang, yak. Paling banter ya Bata. Dan inilah merk andalan nyokap gue. Gue, terus terang, dari kecil dulu punya bodi emang udah bongsor. Ngerti gak bongsor? Relatively bigger than the girls my age. Termasuk ukuran kaki. Karena itu gue paling sengsara deh kalo udah urusan sepatu. Nyokap, berhubung anak ceweknya cuma satu, demen banget ngejadiin gue sasaran eksperimen segala sesuatu yang berhubungan dengan kewanitaan. Rambut gue dipanjangin (I mean, gak dipotong-potong, gitu lho. Jadi gue tk aja tu rambut udah panjang sampe punggung), terus dimodelin macem2 sama dia. Ok, itu gue gak masalah. Rada demen jg sebenernya. Baju, dibeliin segala macam model gaun2 gak jelas (lebih parah kalo bokap yang beliin somewhere outside indonesia, sebagai oleh2 dia pulang dinas. Bahannya bo', standar negara 4 musim n dibuat untuk musim salju! Dipake, gue mo pingsan kepanasan n kegatelan. Gak dipake, sayang kata nyokap, bagus begitu lho. Hueeehhh...). Terus, sepatu. Berhubung gue setengah dipaksa berdandan ala noni2, tentu sepatunya kudu disesuain dong sama bajunya. Jadilah kaki gue yang ukuran ekstra ini dipaksain pake sepatu yang kucil mungil itu. Haduuhhh...

Yang namanya Ully gak diam begitu aja dong. Dengan segala cara, gue kerahkan ketomboyan gue. Jadilah gue sedapat mungkin bercelana panjang dan sepatu kets. So far, aman. Problem muncul waktu mulai sekolah. Dulu, jaman gue SD, ada aturan kalo hari senin itu kudu pake baju putih-putih dan sepatu hitam! Haiyaa... mana ada sepatu kets item? Jadilah nyokap ngebeliin gue sepatu di pabrik Bata di kalibata itu buat sekolah. Sepatu cewek yang depannya mancung (bener, kan? Kalo sepatu kets kan depannya bulet). Ternyata, sodara-sodara, itu sepatu hanya bertahan 3 hari saja! Hari pertama dan kedua, gue ajak lari-lari main galah asin masih nurut. Hari ketiga dia gak tahan, lalu mulutnya terbuka buat teriak alias robek, sodara2. Nyokap terkaget2 pas gue pulang dengan sepatu jebol. Langsung protes ke Bata. Berhubung baru 3 hari dan bon pembelian masih ada, ternyata pihak Bata-nya mau ngeganti dengan sepatu baru yang persis sama. Ealaaahhh... nasibnya sama aja ternyata sama pendahulunya. Protes lagi, diganti lagi (kayaknya jadi mahalan ongkos bulak baliknya dari harga sepatunya). Baru deh, sepatu yang ketiga ini bertahan agak lebih lama dari pendahulunya. Kalo gak salah, sampe sebulan. Hehehehe.....

Makanya gue sampe sekarang jadi agak2 trauma sama merk Bata. Rekor banget, 3 hari jebol. Tapi mungkin sekarang gak begitu lagi, kali ya? Eniwe, sejak itu silih berganti deh sepatu yang bernasib sial jadi milik gue. Trus, nyokap gue juga suka rada aneh kalo beliin sepatu. Seperti waktu ortu gue pergi haji. Pulangnya, gue dibeliin sepatu kets yang modelnya rada ajaib dgn ukuran 2 nomor lebih besar dari ukuran sepatu gue saat itu. Ternyata bukan cuma gue yang trauma dengan kejadian sepatu jebol. Nyokap juga. Jadi beliau berprinsip, mendingan dibeliin sepatu yang ukurannya lebih besar supaya nanti kalo kakinya tambah besar, tu sepatu akan fit in nicely. Well, ok. Prinsip yang bagus. KALO GUE MASIH DI SD. FYI, waktu nyokap naik haji itu gue udah SMA, bo'. How big my feet would get after that, anyway?

But still, kegedean ato nggak, ajaib ato nggak, gue masih berkewajiban pake itu sepatu. Ya sud, gue pake deh ke sekolah, sambil berdoa panjang pendek supaya temen-temen gue gak merhatiin itu sepatu antik. Selama beberapa lama, gak ada masalah. Tapi sampai di suatu masa gue gak mudeng, hari itu ada PORSENI (Pekan Olahraga dan Seni. Pernah ngalamin yang kayak gini dulu kan?). Dan gue ikut tim lomba sepak bola cewek. Jadi deh gue main bola (di, di, main bola lagi yuukkk.....) di lapangan yang kebetulan bueceeekk banget krn malemnya habis hujan, pake sepatu ajaib. Babak pertama, masih gak ada masalah. Gue masih sadar bahwa sepatu gue gak laik tanding. Tapi babak kedua, udah mulai panas. Tim gue ketinggalan angka. Dengan semangat '90 (tahun kejadian), gue kejar itu bola, gue singkirin lawan gue dari kelas 3A11, terus gue giring bola ke gawang, gue tendang daaaaannnnnn................ terbanglah sepatu gue bersamaan dengan bola yang juga melayang. Hebatnya, sepatu gue masuk gawang. Bolanya? Entah kemana tau. Respon penonton? Bayangin sendiri deh.

Tapi gue gak kapok pake itu sepatu. Ternyata, pada kesempatan berikutnya, salah satu mantan kecengan gue malah pinjem itu sepatu buat main bola. Dan ternyata, ukuran kakinya pas di dia, terus dia bilang, enak lho. Tukeran yuk.... Nah lho. Tapi gue melihat kesempatan emas di situ, dan nggak gue sia-siakan. Sekali pukul, dua burung didapat, kan? I could get rid of the shoes, dan gue dapet memorabilia dari itu cowok, dong. Hehehehe.... (ngeces.com). Dan akhirnya, si sepatu arab itu pun berpindah tangan dengan sukses. Entah bagaimana nasibnya sekarang (ya udah hancur kemana tau, kaleee...).

Setelah gue kerja, mau nggak mau, gue harus menata penampilan. Termasuk bersepatu. Pada pertama kali hunting sepatu, gue ditemenin nyokap. Kami ke pasar baru, yang terkenal sama toko-toko sepatunya itu. Dari ujung ke ujung gue masukin semua toko2 sepatu itu, dari pagi sampe toko2nya mau tutup, dan kesimpulan akhirnya cuma satu, gak ada yang cocok sama kaki Ully. Nyokap gue udah mau murka aja. Setelahi itu dia kapok nemenin gue cari sepatu lagi. Adaaaaa... aja yang gak pas menurut gue, katanya. Yang kesempitan lah. Yang modelnya kurang sip lah. Yang warnanya gak matching lah. Belom lagi soal harga. Tapi kalo menurut gue, wajar dong memilih yang terbaik sebelum membeli. After all, kami akan bersama untuk jangka waktu yang lama, bukan? Jadi tentu harus dicari pasangan yang paling sepadan (gue ngomongin sepatu apa suami, sih?).

Karena tragedi itu, gue akhirnya jarang niatin beli sepatu. Maksudnya, kalau lagi jalan-jalan dan liat sepatu yang bagus dan cocok, ya udah beli aja. Tapi jangan diniatin dari rumah mau jalan buat cari sepatu. Seringnya malah gak dapet. Tapi kalau gak diniatin, malah dapat. Dunia emang kebalik-balik deh buat gue. Setelah nyokap, korban berikutnya yang bernasib malang jadi partner nyari sepatu adalah suami gue. Ya eyalah, dia kudu nemenin. Lha wong dia sama cerewetnya sama gue soal penampilan. Daripada gue beli terus gak berkenan di hati dia, mending dia kasih opini waktu gue cobain di tokonya, kan? Diem2, ternyata dia memendam kemurkaan serupa sama nyokap. Sekali waktu, setelah hunting seharian dengan hasil nihil, tercetus omongannya begini, masa dari segini banyak sepatu di sini (waktu itu kami keliling2 pasaraya dan blok M), gak ada satupun yang cocok? Huehehehe..... Welcome to my world, mas.

Tapi gak selalu begitu kok kisahnya. Adakalanya kaki gue yang gede ini malah membawa keberuntungan. Contohnya waktu kami main ski dulu. Berhubung ukuran kaki hampir sama (gue cuma lebih kecil satu ukuran dari dia. See, how big they are?), maka kami cuma perlu nyewa 1 set sepatu ski dan dipakai bergantian. Lumayaaannn.... hemat 7 ribu yen. Toh gak bisa main dua-duanya bareng, kan. Salah satu harus nemenin anak2. Sampai ada teman dari indonesia juga yang bareng main ski itu komentar, enak ya, ukuran kakinya sama. Ya enak dong :D

Tapi jangan salah, gue juga pernah merasa attached banget sama sepatu. Yaitu sepatu berbahan suede warna merah yang nyamaaan banget dgn model sporty. Itu gue beli waktu masih kerja di majalah, n kudu sering ngeliput sana sini. So, kudu banyak jalan, kan? Cocok banget deh itu sepatu. Trus, waktu ke Jepang, gue bawa. Sialnya, pas kita mo pulang ke Indonesia dan lagi di-pool di hotel Washington, Shinjuku, itu sepatu secara gak sengaja dibuang ama suami krn dikira plastik isi gomi (sampah) . Haduhaduhaduh..... Gue langsung histeris pas nyadar. Tapi sayang, kejadiannya udah sehari sebelumnya. Kalau masih pagi itu, masih bisa dilacak n diselamatkan dari tempat sampah. Nevertheless, gue titahkan juga suami gue tanyain sama pelayan hotel, dan jawabannya negatif. Jadilah 2 hari gue menangisi si sepatu merah itu. Terus dihibur sama si mas, udah, ntar dibeliin deh yg kyk gitu lagi. Tapi mana mungkiiinnnn? Gue belon pernah liat lagi model kyk gitu. Dan benar. Sampe hari ini gue belum dapat gantinya (anehnya baru inget hari ini sih. Karena lagi mikirin soal sepatu).

Dan hari ini, kenapa gue ngomongin sepatu? Karena sejak kerja di AHA Centre ini, gue dapet temen kantor yang shoe-freak banget. Dia rela puasa demi beli sepatu yang (menurutnya) keren abis. Dah gitu, heels-nya bo', minimal 5 senti. Alamaaakk... gue pake 3 senti aja kaki gue udah menjerit-jerit protes kalo kelamaan. Tapi karena terus ngeliat koleksinya yang berganti-ganti, lama2 gue jadi terusik juga. Terus, kemaren waktu training di Gran Mahakam, iseng-iseng gue pake deh sepatu hak 5 senti yang gue beli waktu di jepang dulu (Ini juga salah satu tragedi. Gue beli ini sepatu karena gue butuh buat padanan kebaya yang gue pake di acara wisuda suami gue. I thought it would only for a short time. Ternyata, acaranya sampai sore, habis itu mereka pada makan2 di restoran yang ndilalah rada jauh dari tempat nunggu bis. Terus, karena pulangnya udah malem, jadi dari stasiun shinjuku kami jalan kaki sampe kembali ke hotel. Jadilah itu hari paling menyerupai neraka buat kaki gue selama riwayat kami di jepang. Gue gak habis pikir, gimana cewek-cewek jepang bisa tahan jalan kemana-mana pake high heels yang ujungnya seuprit itu. Bahkan ke Ueno Zoo pun mereka pake blazer n high heels, lho. Memang aneh. Selop gue, walau 5 senti, tp heelsnya yang lebar sumebar gitu. Kalo gak, bisa nyungsep dari kapan-kapan deh guenya).

Kembali ke Gran Mahakam, setiba di hotel, gue naik lift-nya. Lift itu dilapisin sama kaca selebar dinding, jadi gue bisa lihat bayangan tubuh gue dari ujung kaki ke ujung kepala. Dan gue mendadak sontak jadi terkaget. Lho, kok gue keliatan beda, ya? Ternyata Ully sudah bertansformasi jadi patung. Halah..... Maksudnya, kok gue jadi keliatan lebih langsing dan tinggi gitu (ya eyalah, tambah 5 senti, kaleee'). Trus kaki gue, wiiiihhh... jadi keliatan paaaaanjaaanggg. Dan laaaamaaaa.. Itulah coki-coki. Hehehe... Gak deh. Panjang doang. Waduh, ternyata ini toh yang bikin cewek2 demen pake sepatu hak tinggi. Penampilan jadi lebih sip. Dan jadilah sepanjang perjalanan ke lantai 2 itu gue sibuk mengagumi refleksi sendiri. Narsis narsis, deh.

Dari situ gue dapat pelajaran yang bagus. Bahwa buat tampil oke, kita harus rela menderita. Kecantikan itu pedih, Jendral! Huahahaha.... Walhasil, gue kemaren beli deh sepatu yang haknya rada tinggian (selama ini gue ngantor pake yang haknya teplek banget). Terus, gue pake deh tadi ke kantor. Dari rumah sampe blok M, gak ada masalah. Ya iyalah, wong cuma duduk doang. Nah, dari Blok M, mulai deh sensasi2 aneh menjalari tubuh gue. Tapi cuma sebentar, karena habis itu gue duduk manis di busway. Dengan kaki yang mulai agak2 mati rasa. Turun dari busway, mulailah perjuangan sebenarnya terasa. Kok itu jembatan penyeberangan hari ini rasanya panjaaaaangggg banget ya? Tapi dengan semangat kulit (bukan baja, karena sepatu gue sepatu kulit bukan sepatu baja), gue terus tapaki jalur penyeberangan itu. Tapi mulai ada suara-suara kecil yang mengganggu, jeritan jari-jari kaki gue yang terhimpit dalam sepatu baru itu. Semakin lama, jeritan itu makin keras. Tapi seperti kata Richard Marx, nobody ever hear a silent scream (but me). Sampai akhirnya gue menyerah. Terpaksa gue keluarin lagi selop teplek andalan dari tas (untuk bawa serep) dan gue ganti sepatu cantek itu sama sang telplek juara. Dan masuklah si sepatu baru ke dalam tas, sementara jari jemari gue berteriak riang di alas kaki langganannya. Dan berlarian lagi dengan leganya.....