Wednesday, May 28, 2008

Berkebun

Teman saya ini menulis tentang trik untuk menyiasati kenaikan harga BBM dan harga-harga. Saya sekarang ingin sedikit menambahi tulisannya. Selain cara-cara yang diterapkan Gina, saya juga punya ide lain. Sebenarnya sederhana saja, yaitu tanamlah tanaman yang bisa kita nikmati hasilnya, seperti tanaman buah dan sayuran. Ini tercetus waktu di jepang dulu, ketika saya tidak bisa menemukan cabai merah di supermarket (ternyata orang jepang gak suka pedas. Saya baru tahu waktu itu…). Lalu, iseng-iseng saya kumpulkan biji cabai merah yang saya bawa dari indonesia dan saya tanam dalam pot kecil karena apartemen kami di lantai dua, gak punya pekarangan. Eh, ternyata tumbuh (kebetulan waktu itu musim semi, jadi udaranya mirip2 sama di indonesia). Dari sana, saya jadi berangan-angan kalau nanti punya rumah dan ada halamannya, saya akan tanam tanaman seperti itu, setidaknya pohon cabai deh.

Jadilah di rumah yang sekarang kami tempati saya sibuk menggali-gali dan memberi pupuk biji-bijian itu. Saya tanam biji cabai, rambutan rapeah (rapiah? Apa sih namanya, yang kecil-kecil tapi manis itu lho), alpukat (kalau ini udah agak tinggi karena ditanam di rumah kontrakan dulu), lengkeng (ini beli pohon bibit, jadi sekarang udah lumayan tinggi), nanas, durian (walau belum keliatan tunas sama sekali), dan jeruk nipis (yang ini idem, tunasnya saja belum nongol). Lalu setiap pagi dan sore disirami. Kalau saya tidak sempat, ya asisten yang mewakili. Mudah kok menanam tanaman itu, terutama cabai. Baru sebentar ditanam, sudah muncul tunas2 pohonnya.

Komentar ibu saya yang melihat saya berjibaku mengurusi tanaman dan rumput (iya. Rumput juga saya yang tanam sendiri) begini: (mind you, beliau tidak bicara langsung sama saya tapi saya tak sengaja dengar obrolannya dengan anak saya) Mama kamu itu emang aneh. Dulu nenek susaaaaahhhh banget ngajak dia ikut ngurusin tanaman. Eeeh… sekarang malah getol sendiri nanam macam2. Saya jawab saja sambil nyeletuk, beda dong bu. Dulu kan di rumah ibu. Kalo sekarang kan rumah sendiri. Yeeee…. Kata ibu saya bete (ketakjuban itu juga berkali2 diungkap ibu saya kalau melihat kue2 saya, meaning, dulu mau diajari masak sampai harus diuber-uber. Sekarang malah jadi tukang kue. Hehehe…)

Dan, inilah hasilnya. Awalnya sempat kecewa, karena kok yang ditanam biji cabai merah besar, tapi cabainya tidak sampai jadi merah, masih hijau, sudah layu dan gugur. Lalu, setelah beberapa hari tidak keluar rumah karena banyak kerjaan, tiba-tiba waktu sore-sore iseng lihat-lihat tanaman, eeh… ada 3 buah cabai yang sudah berwarna merah. Waaahhh senangnya. They’re the most beautiful cabais I’ve ever seen (duilee… segitunya). Sayangnya saya lihat sebagian daunnya dimakan hama, entah semut, entah belalang. Sebenarnya ada cara buat mengusir hama itu, yaitu disemprot air rebusan tembakau. Dulu sudah pernah saya lakukan dan memang berhasil. Tapi belakangan ini memang lupa untuk diulang.

Jadi semangat nih untuk merawat tanaman yang lain. In the future, saya ingin coba juga menanam sayur-sayuran seperti sawi atau bokcoy dalam pot. Saya pernah membaca tentang seorang pengusaha sayur mayur yang menanam sayurannya dalam pot dan hasilnya tidak kalah dengan yang ditanam di tanah. Saya mau tanam sedikit saja, paling tidak cukup buat dikonsumsi sendiri deh. Lumayan jadi menghemat kan, gak usah beli lagi, tinggal petik di pekarangan? (Kalau mau lebih ekstrim, bisa juga kali pelihara ayam sendiri, buat kolam ikan sendiri, pelihara kambing/sapi sendiri? Hahahaha….).

PS: nasib pohon cabai saya di jepang tidak sebagus yang di sini. Waktu tingginya sekitar 15 cm, oleh Reyhan yang waktu itu baru 3,5 tahun potnya diterjunkan dari teras apato. *Sigh.

Thursday, May 22, 2008

Ketika dia tidur


Saya senang mengamati orang yang sedang tidur. Menurut saya, di waktu itulah kita bisa melihat seseorang apa adanya. Tanpa pretensi. Tanpa polesan. Hingga semua keletihan dan kedamaian tercermin di wajahnya. Terlebih kalau yang tidur adalah anak-anak. Kepolosannya akan tampak jelas dan mengundang belas asih.

Beberapa hari yang lalu, saya lihat salah seorang keponakan saya tidur pulas. Untuk selamanya. Setelah sakit mendadak beberapa jam, tubuh kecilnya yang belum genap berumur 9 bulan tak kuasa menahan derita dan akhirnya menyerah. Kembali kepada sang Khalik. Ketika kami melihatnya, dia benar-benar seperti sedang tidur lelap. He looked just like an angel. Wajahnya yang lucu, pipinya yang bulat dan menggemaskan. Sekilas tak terlihat bahwa hanya jasad tak bernyawa yang terbaring di sana. Hanya bibirnya yang biru yang menjadi pertanda. Di sisinya, sang bunda terisak, menyesakkan dada setiap orang. Kami yang ingin menghibur akhirnya juga tak kuasa menahan haru dan hanya bisa memeluknya erat. Keharuan semakin dalam ketika melihat ke-3 kakaknya yang juga masih kecil-kecil tapi sudah bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Bahwa dedek bayi mereka tak akan pernah bangun lagi dari tidurnya.

Saya pernah kehilangan seorang adik, dulu, waktu masih kecil. Walau ketika itu baru 13 tahun, tapi seluruh rangkaian kejadian itu masih sangat segar dalam ingatan, seakan baru terjadi kemarin. Adik saya meninggal ketika dia sedang mengikuti acara sebuah organisasi di luar kota. Jadi bisa dibayangkan betapa kagetnya kami ketika menerima kabar bahwa dia sudah tiada. His death changed our lives forever. Saya menyaksikan dua lelaki yang sangat saya segani, kedua kakek saya, jadi lemas tak bertenaga dan menangis terisak. Kakek dari pihak ayah, inyik saya, berkali-kali berkata bahwa anak tak seharusnya meninggal mendahului orangtuanya. Saya menyaksikan bagaimana rambut ayah saya memutih dalam waktu hanya sebulan. Saya melihat perubahan drastis dalam diri ibu saya yang semula carefree dan optimis menjadi tertekan dan senantiasa was-was. Sementara saya dan adik bungsu saya, senantiasa berada di bawah bayang-bayang almarhum. Maklum, ketika seseorang berpulang, maka orang-orang yang ditinggalkannya akan cenderung mengingat semua hal-hal yang positif darinya. Terlebih memang diantara kami bertiga, almarhum-lah yang paling tampan, cerdas, berbakat seni dan berbudi bahasa baik. Sebelum menikah dan punya anak, agak sulit bagi saya untuk memahami apa yang dialami oleh kedua orangtua. Tapi semua langsung berubah sejak saya punya anak. Sejak itu saya jadi sangat mengagumi ketabahan kedua orangtua.

Sebenarnya kita mengerti bahwa harta dan keluarga adalah titipan dari Allah, yang bisa sewaktu-waktu diminta kembali oleh sang Empunya. Kehilangan harta bisa lebh diterima. Tapi bagaimana kalau kehilangan orang yang kita cintai? Terlebih kalau orang itu adalah buah hati kita, yang telah kita kandung dengan susah payah selama 9 bulan, yang telah kita rawat dengan penuh kasih sayang sejak dia dilahirkan? Nabi membimbing kita agar mencintai Allah dan RasulNya diatas segalanya, jauh daripada kecintaan kita terhadap harta dan keluarga. Agar ketika salah satu darinya hilang dari hidup kita, maka keimanan terhadap Allah akan menguatkan diri dan hati kita. But what are we suppose to do? Should we love our kids less? How could you love your kids less? Itu pertanyaan besar untuk saya dan saya masih berusaha mencari jawaban yang paling tepat. Kalau ada diantara teman sekalian yang bisa memberi pencerahan, saya akan sangat berterima kasih.


Monday, May 12, 2008

Piala Thomas dan Uber

Sekarang lagi seru-serunya pertandingan Thomas dan Uber Cup. Kira-kira menang gak ya? (Kayana mah susah euy. China gila-gilaan kuatnya). Yah, daripada pusing mikirin BBM mau naik, mendingan menyalurkan ketegangan nonton pertandingan bulutangkis aja deh. Awalnya udah cukup bagus sih, Thomas team ngalahin Thailand 3-2 (walau seharusnya bisa 5-0 if only kedua tunggal itu tampil lbh OK) dan Uber team ngalahin Jepang 4-1. Go Indonesian Team!

PS: Karena ada pertandingan-pertandingan ini, Ricky Subagja jadi hampir tiap hari nongol di TV. Siiip lah. Kekekeke....