Be careful with what you wish for, 'cause you might just get it
Saya baca pepatah itu bertahun-tahun yang lalu, dan sangat berkesan hingga selalu saya ingat sampai saat ini. Kenapa? Karena artinya dalam sekali. Buat saya, pepatah itu berarti apa yang kita inginkan dan dapatkan tidak selalu baik bagi kita. Dan apa yang tidak berhasil kita raih bukan selalu berarti kegagalan dan buruk jadinya bagi kita. Efeknya, saya selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Tengok-tengok, tanya kiri kanan, kupas luar dalam. Dan walhasil, setelah keputusan diambil dan dijalankan pun, saya terkadang masih bulak balik berpikir, benarkah keputusan yang sudah saya ambil? Apakah memang itu yang terbaik buat saya? Bagaimana kalau... dst, dll.
Kalau di islam, ada istilah istidraj, yaitu kenikmatan yang sebenarnya adalah azab. Nauzubillah, jangan sampai itu terjadi pada saya. Seringkali setelah mendapat kenikmatan, saya bertanya-tanya dalam hati, apakah benar ini hadiah Allah? Apakah akan ada bencana dibaliknya? Salahkah saya sudah meminta sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai bagi saya yang pada akhirnya akan membawa akibat buruk bagi diri saya sendiri? Contoh yang paling jelas adalah ketika lulus UMPTN dulu. Saya seorang diri di kota asing, tanpa saudara, teman baru segelintir, dapat tempat kost yang sama sekali tidak menyenangkan, rasanya sengsara sekali. Hampir setiap malam saya menangis, menyalahkan diri sendiri kenapa memilih mendaftar ke sana? Kenapa saya tidak kuliah di jakarta saja, di universitas cadangan yang sudah menerima saya, dan kenapa kenapa lainnya. Di Jakarta, ibu saya juga sama sengsaranya dengan saya. Melepas anak gadis satu-satunya di tempat asing yang tidak berkenan untuknya. Beliau selalu menelepon setiap hari mengecek keadaan saya, dan setelah itu, menurut cerita ayah saya, jadi tak bernafsu makan. Untung keadaan itu tidak lama, hanya dua bulan, setelah itu saya pindah ke tempat yang jauh lebih baik di mana saya tinggal sampai kuliah hampir selesai. Tapi di masa awal-awal itu, saya sempat meragukan pilihan saya. Dan saya sempat berpikir, mungkin saya salah telah berdoa agar lulus UMPTN dan diterima di kampus tercinta itu. Mungkin Allah ingin menunjukkan pada saya bahwa tidak semua yang saya inginkan itu adalah baik bagi saya, walaupun akhirnya Syukur Alhamdulillah semua prasangka buruk saya itu salah adanya.
Sebelum berangkat ke Jepang, keadaan itu seperti terulang lagi. Kami berdua, saya dan suami, diliputi keraguan yang hebat untuk memutuskan apakah akan berangkat atau melepas tawaran yang baik itu. Sebagian besar keraguan disebabkan oleh pihak ke-3 yang entah kenapa memberikan banyak gambaran buruk pada kami. Menurutnya, kepergian kami hanya akan berujung sengsara. Dia memprediksi bahwa sepulang kami dari jepang, kondisi kami akan semakin jatuh dan keuangan kami akan porak poranda. Kami bimbang, benarkah akan begitu adanya? Untungnya, orangtua saya dan mas sangat mendukung kepergian kami. Merekalah yang menyemangati kami untuk tidak ragu dan berusaha sekuatnya agar bisa mendapat yang terbaik di negeri orang. Dengan mengucap Bismillah, kami berangkat dan sekali lagi, Alhamdulillah, semua prediksi buruk itu tidak benar. Justru sepulang dari sana, mas mendapat peningkatan karir yang baik.
I have a dream. Sejak remaja dulu, ada sesuatu yang selalu mengusik hati saya. Tapi mimpi itu saya simpan rapat-rapat, karena tak tahu bagaimana cara mewujudkannya. Sedikit demi sedikit, hal itu menjadi obsesi dalam diri dan terpendam dalam, bahkan sedikit terlupakan. Baru-baru ini saja saya ungkapkan obsesi saya itu pada orang-orang terdekat: suami, adik, sahabat. Itupun karena tiba-tiba saya mendapat pilihan yang bisa membukakan pintu kesempatan itu. Dan sekali lagi, keraguan menyelimuti hati saya. Haruskah saya wujudkan mimpi itu? Apakah
akan membawa akhir yang baik atau buruk bagi saya dan keluarga? Walau suami tercinta menyatakan dukungannya, tapi saya tetap merasa tak karuan. Kalau impian itu terwujud, artinya my dream finally comes true. Dan itu bisa membuka jalan bagi terwujudnya mimpi-mimpi kami yang lain. Tapi banyak yang menjadi taruhannya. Dan taruhan itu sangat berat. Di lain pihak, kalau ternyata pintu itu tetap tertutup, saya rasa saya akan merasa cukup terpukul. Dan impian itu akan terkubur selamanya. Walau saya akan terus berusaha membesarkan hati dengan kalimat klise: Mungkin itulah yang terbaik bagi saya. Sementara ini, saya berusaha memantapkan pilihan sambil terus berdoa, Ya Allah, berikanlah apa yang menurutMu terbaik bagi saya dan keluarga saya. Dekatkanlah kami dengan ridhoMu. Amiiinnn... (bantu saya berdoa ya, temans).
No comments:
Post a Comment