Thursday, May 22, 2008

Ketika dia tidur


Saya senang mengamati orang yang sedang tidur. Menurut saya, di waktu itulah kita bisa melihat seseorang apa adanya. Tanpa pretensi. Tanpa polesan. Hingga semua keletihan dan kedamaian tercermin di wajahnya. Terlebih kalau yang tidur adalah anak-anak. Kepolosannya akan tampak jelas dan mengundang belas asih.

Beberapa hari yang lalu, saya lihat salah seorang keponakan saya tidur pulas. Untuk selamanya. Setelah sakit mendadak beberapa jam, tubuh kecilnya yang belum genap berumur 9 bulan tak kuasa menahan derita dan akhirnya menyerah. Kembali kepada sang Khalik. Ketika kami melihatnya, dia benar-benar seperti sedang tidur lelap. He looked just like an angel. Wajahnya yang lucu, pipinya yang bulat dan menggemaskan. Sekilas tak terlihat bahwa hanya jasad tak bernyawa yang terbaring di sana. Hanya bibirnya yang biru yang menjadi pertanda. Di sisinya, sang bunda terisak, menyesakkan dada setiap orang. Kami yang ingin menghibur akhirnya juga tak kuasa menahan haru dan hanya bisa memeluknya erat. Keharuan semakin dalam ketika melihat ke-3 kakaknya yang juga masih kecil-kecil tapi sudah bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Bahwa dedek bayi mereka tak akan pernah bangun lagi dari tidurnya.

Saya pernah kehilangan seorang adik, dulu, waktu masih kecil. Walau ketika itu baru 13 tahun, tapi seluruh rangkaian kejadian itu masih sangat segar dalam ingatan, seakan baru terjadi kemarin. Adik saya meninggal ketika dia sedang mengikuti acara sebuah organisasi di luar kota. Jadi bisa dibayangkan betapa kagetnya kami ketika menerima kabar bahwa dia sudah tiada. His death changed our lives forever. Saya menyaksikan dua lelaki yang sangat saya segani, kedua kakek saya, jadi lemas tak bertenaga dan menangis terisak. Kakek dari pihak ayah, inyik saya, berkali-kali berkata bahwa anak tak seharusnya meninggal mendahului orangtuanya. Saya menyaksikan bagaimana rambut ayah saya memutih dalam waktu hanya sebulan. Saya melihat perubahan drastis dalam diri ibu saya yang semula carefree dan optimis menjadi tertekan dan senantiasa was-was. Sementara saya dan adik bungsu saya, senantiasa berada di bawah bayang-bayang almarhum. Maklum, ketika seseorang berpulang, maka orang-orang yang ditinggalkannya akan cenderung mengingat semua hal-hal yang positif darinya. Terlebih memang diantara kami bertiga, almarhum-lah yang paling tampan, cerdas, berbakat seni dan berbudi bahasa baik. Sebelum menikah dan punya anak, agak sulit bagi saya untuk memahami apa yang dialami oleh kedua orangtua. Tapi semua langsung berubah sejak saya punya anak. Sejak itu saya jadi sangat mengagumi ketabahan kedua orangtua.

Sebenarnya kita mengerti bahwa harta dan keluarga adalah titipan dari Allah, yang bisa sewaktu-waktu diminta kembali oleh sang Empunya. Kehilangan harta bisa lebh diterima. Tapi bagaimana kalau kehilangan orang yang kita cintai? Terlebih kalau orang itu adalah buah hati kita, yang telah kita kandung dengan susah payah selama 9 bulan, yang telah kita rawat dengan penuh kasih sayang sejak dia dilahirkan? Nabi membimbing kita agar mencintai Allah dan RasulNya diatas segalanya, jauh daripada kecintaan kita terhadap harta dan keluarga. Agar ketika salah satu darinya hilang dari hidup kita, maka keimanan terhadap Allah akan menguatkan diri dan hati kita. But what are we suppose to do? Should we love our kids less? How could you love your kids less? Itu pertanyaan besar untuk saya dan saya masih berusaha mencari jawaban yang paling tepat. Kalau ada diantara teman sekalian yang bisa memberi pencerahan, saya akan sangat berterima kasih.


No comments: